Sabar Untuk Diam
Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan:
اَلصَّبْرُ هُوَ الصُّمْتُ أَوْ الصُّمْتُ هُوَ الصَّبْرُ وَلَا يَكُوْنُ الْمُتَكَلِّمُ أَرْوَعَ مِنَ الصَّامِتِ إِلَّا رَجُلاً عَالِماً يَتَكَلَّمُ فِيْ مَوَاضِعِهِ وَيَسْكُتُ فِيْ مَوَاضِعِهِ
“Diam itu memerlukan kesabaran. Orang yang berbicara itu tidak lebih baik dibandingkan orang yang diam kecuali jika orang yang berbicara tersebut adalah orang yang berilmu atau kapabel dalam objek yang dia bicarakan dan dia berkomentar atau diam pada sikon yang tepat.” (al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/269)
Syahwat manusia untuk berbicara dan berkomentar itu luar biasa hebatnya, untuk mengendalikannya perlu perjuangan besar.
Tanpa modal sabar yang banyak seorang itu sulit untuk bisa mengendalikan syahwat berbicara.
Orang yang berkomentar itu belum tentu lebih baik dibandingkan orang yang diam.
Ada dua syarat agar orang yang berbicara itu lebih baik dibandingkan orang yang diam:
Pertama:
Berilmu dalam bidang yang hendak dikomentari. Orang yang punya kecemburuan terhadap agama sehingga semangat berbicara, berkomentar, buat status, bikin meme, nulis bantahan dll namun miskin ilmu itu lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki keadaan.
Kedua:
Bicara pada sikon yang tepat. Berilmu saja belum cukup untuk mewujudkan perkataan yang bermanfaat. Ilmu harus diiringi dengan hikmah, tahu kapan sebaiknya berbicara dan kapan sebaiknya diam. Oleh karena itu hal yang semestinya hanya disampaikan di forum tertutup tidak dibicarakan di forum terbuka oleh seorang yang memiliki hikmah dalam berbicara. Tidak ada hikmah atau bijaksana tanpa ilmu namun berilmu itu belum tentu otomatis bisa bersikap hikmah atau bijak.
Semoga Allah berikan kepada penulis dan pembaca tulisan ini anugrah berupa hikmah dalam bersikap dan berbicara.
Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.